Pada suatu masa
Degub-degub jantung
bersatu dengan kerikil tajam yang bercengkerama dengan pasir yang berbuih.
Jejak kaki kembali menapaki jalanan setapak. Ah, debu kemarau memang selalu
menyulitkan perjalanan. Cericit burung sedikit meneduhkan perasaan yang mulai
memanas demikian juga batang-batang kayu yang mulai melapuk melintas di setiap jalan
setapak. Wajah-wajah kelelahan
terbayang jelas di keenam raut
yang dengan pongah berusaha menunjukkan identitas dirinya. Berbeda dengan
mereka tampak seraut wajah yang sedikit acuh tak acuh menghalau semua
kepenatan. Pandangannya jauh entah kemana, ke suatu masa...masa yang telah
membuatnya terperangkap
dalam kehidupan yang seperti yang sedang dijalaninya saat ini. Masa kecilnya...
“Lintang!”panggil
Dania diantara kelelahan mereka. Lintang mendongakkan kepalanya. Dania
melanjutkan pembicaraan,”sedari tadi kuperhatikan kau nampak lebih banyak
melamun, apa yang kau pikirkan?”Lintang hanya mengedikkan bahunya. Enggan
merespon. Sementara itu teman-temannya yang lain mencoba menenggelamkan diri
dalam kelelahan.
Ya, perjalanan ini memang cukup syarat.
Tim Putri dari Mahasiswa Pecinta Alam
kampus Lintang berusaha menunjukkan kredibilitasnya setelah mati-matian mereka
mempertahankan proposal
yang dianggap hanya main-main oleh rekan-rekannya. Sampai saat ini tim putri
memang belum begitu mendapat kepercayaan.
Selangkah demi
selangkah mereka kembali merayap diantara pohonan yang sempat merintangi
langkah mereka. Hari ini tujuan mereka satu, Ranukumbolo. Akhirnya perjalanan
yang memakan waktu setengah hari terlewati juga. Tampak dari jauh danau
Ranukumbolo menawarkan senyuman dalam dekapan sang bagaskara. Tertatih-tatih
mereka menuju shelter dan melepaskan kepenatan seharian. Lintang berjalan pelan
membasuh mukanya, mengambil air wudlu, tak lupa lintang memeluk jiwanya
berkencan dengan Tuhan. Ya, hanya Lintang.
Malam kian merambat.
Bulan bersinar dengan sedikit manja. Ketika semua sudah tertidur perlahan
Lintang keluar. Udara dingin menusuk tulang pada suhu 9°C. Langkahnya pelan
menuju tepian Ranukumbolo. Lintang duduk dalam diam. Ingatannya melayang
kembali. Masa dimana ia begitu dekat dengan alam. Sering sekali Lintang bermain
di hutan dekat rumahnya dengan kawan kecilnya. Tapi semua itu tinggal khayalan setelah
hutan itu di buka dijadikan hutan produksi hutan itu menjadi tidak alami lagi.
Bersamaan dengan itu sahabatnya juga pergi, entah kemana.
“Sendiri?!”sebuah
suara telah membuyarkan lamunannya. Lintang mengernyitkan dahinya merasa tak
mengenal makhluk asing disampingnya.”Awan! kenalkan, aku dari Jakarta. Sorry
kalau telah mengganggu kamu. Tak baik kau sendiri tanpa kawan.” Ujar cowok yang
mengaku bernama Awan tadi. Lintang tersenyum samar. Geli rasanya, karena selama
ini tak pernah ada yang peduli dengan apa yang dilakukannya.
“Kau salah, Wan. Aku
merasa tidak sendiri, ada banyak hal yang membuat aku tidak sendiri.” Ujar
Lintang.”Kau aneh, kuperhatikan dari tadi kau lebih banyak diam dibanding
teman-temanmu,”sambung Awan. “itu hanya perasaanmu saja. Sudahlah, sudah malam
aku mau tidur, bye,”pamit Lintang. “Eh, tunggu!”seru Awan. “Ada apa lagi?”
balas Lintang. “Boleh nggak aku
tahu namamu?” tanya Awan. Lintang tersenyum sambil melambaikan tangan, ia
menjawab,”besok pagi, Wan. I promise.”
Awan menggelengkan kepala”gadis aneh”
bisik hatinya. Malam kain merambat, membuaikan setiap insan yang tengah
terlelap.
Pagi ini di awali
dengan rendezvous Lintang di atas sajadah. Ketika teman-temannya asyik
bermain-main di tepian Ranukumbolo. Lintang lebih suka bermalas-malasan
berjemur di bawah mentari pagi. Ah, serasa di Los Angeles bisik hatinya.
“Lintang!”panggil teman-temannya.”tak
ingin kau kesini?” Lintang tertawa, lalu “aku tadi sudah, waktu ambil air
wudlu,” ujarnya. Teman-temannya menggelengkan kepala melihat keacuhannya.
“Aku mau menagih
janji yang kau tawarkan tadi malam.”ujar Awan yang tiba-tiba sudah
adadisampingnya. Lintang mengernyitkan dahi pura-pura lupa untuk kemudian
tertawa geli,”O o, masih ingat juga.”
“Karena aku yakin gadis kecilku tak
akan pernah mengingkarinya.”balas Awan sambil tertawa. Seperti sosok di masa
laluku batin Lintang.
“Aku tahu kalau kau sebenarnya sudah
tahu namaku, tapi tak mengapa, panggil saja aku Lintang, just Lintang. Is there
any question?”kata Lintang dengan ekspresi meledek. “Dasar gadis kecilku yang
aneh, padahal baru semalam aku bertemu denganmu, tapi rasanya aku sudah
mengenalmu bertahun-tahun lamanya,”ujar Awan. “Itu tandanya memang aku gadis
yang menarik,”gurau Lintang. Awan mencibir pura-pura sewot. Ah, canda-canda
yang sempat mengendorkan ketegangan sampai waktu untuk kembali melanjutkan
perjalanan tiba. Itu sepetik kenangan yang telah terukir disatu sudut ruang
batinnya.
Kini dihadapannya
tampak Oro-oro Ombo menghantar langkah kecil kaki mereka, melewati padang
rumput yang tingginya melebihi tinggi tubuh kecil Lintang. Sementara itu,
ditepian Ranukumbolo tampak Awan sedang terpekur. Ada yang tengah dipikirkan.
Dicky kawannya mendekatinya dan bertanya,” sepertinya ada yang menggelitik
hatimu, Wan. Apa, siapa dan mengapa?”
Awan mendongakkan kepala,”entahlah
Dick, sepertinya aku tak tega melepas Lintang. Aku merasa aku telah begitu lama
mengenalnya, lama lama sekali. Pada suatu masa dimana aku mengingatnya
samar-samar. “mungkin kau memang pernah mengenalnya,”ujar Dicky,”atau masa
kecilmu mungkin.”sambungnya lagi.
Awan terdiam, lalu katanya,”entahlah,
mungkin juga. Sudahlah kita teruskan saja perjalanan ini, jangan sampai rencana
kita kali ini gagal, malu dong sama mereka yang cewek-cewek semua.”
Kembali dalam
perjalanan Lintang dan teman-temannya yang semakin jauh meninggalkan Oro-oro
Ombo dan terus merayap menuju Kalimati. Samar-samar Puncak Mahameru tampak
mengepulkan asap dari muntahan perutnya. Indah dan agung. Tak sanggup
dilukiskan dengan kata-kata tapi mampu untuk dirasakan.
Shelter Kalimati didepan mata.
Dibelakangnya hutan pinus semakin membangkitkan perasaan rindu Lintang pada
masa kecilnya. Didepannya hamparan rumput menawarkan harapan. Seperti dalam
kisah “little house on the praire”. Semilir angin hutan pinus membawa mata jadi
terkantuk-kantuk.
“Lintang” panggil
Ari. Lintang menoleh, tersenyum melihat tingkah Ari yang sanggup menghilangkan
luka lara dalam sekejap. “aku merasa ada yang tidak beres denganmu.” Lintang
terperanjat. “sepertinya kau menyembunyikan sesuatu dari kami. Apa sebenarnya
yang kau pikirkan?” tanya Ari tiba-tiba. Lintang mengedikkan bahunya, lalu
jawabnya,”itu hanya perasaanmu saja, Ri.”
“Oh no! Kau bisa saja berbohong pada
orang lain tapi tidak padaku. Ingat, kita bersahabat bukan sehari dua hari,
sudah hampir 2 tahun,”kata Ari.
Lintang menghela nafas,”kau memang
benar. Kau ingat Awan kan? Yang ku kenalkan padamu tadi pagi.” Ari mengiyakan.
“tahu tidak? Aku seperti terbawa dalam ingatan masa kecilku, tapi tampak samar
sekali.” Kata Lintang. “lalu apa hubungannya?”tanya Ari. “aku sendiri tidak
tahu, Ri. Hanya saja ketika aku mengenalnya seperti aku sudah mengenal dia
lama...sekali, pada suatu masa.” Ujar Lintang. “Kau semakin membuatku bingung.”
Canda Ari. “jangankan dirimu, Ri. Aku sendiri bingung.” Balas Lintang.
Masa kecil itu
begitu indah. Anak laki-laki itu selalu memanggil Lintang dengan sebutan gadis
kecilku. Dia suka sekali menggoda Lintang sampai menangis. Cengeng memang. Tapi
dia begitu lain. Dia suka sekali mengajak Lintang bermain-main dihutan,
mengajak Lintang ke bukit,dan mengenalkan Lintang pada alam yang begitu indah.
Itulah pertama kalinya Lintang mencintai alam lingkungannya. Sampai akhirnya
dia pergi entah kemana, dan seiring perjalanan waktu bayangan itu menghilang
dari alam bawah sadarnya.
Sampai ketika malam
itu tepatnya tadi malam saat Lintang bertemu dengan Awan. Tiba-tiba saja
Lintang teringat pada masa lalunya. Apalagi ketika Awan memanggilnya dngan
panggilan “gadis kecilku” Ah....
“Hey Nona manis. Kau pending dulu lamunanmu,
let’s the adventurer.” Seru Dania membuyarkan lamunannya. Perjalanan ini memang
yang utama. Arcopodo, dimana engkau berada? Pertanyaan itulah yang akan mereka
cari jawabannya. Canda tawa dalam perjalanan telah membuat Lintang terhibur.
Tepiskan bayangan itu, puncak Mahameru semakin dekat dengan rengkuhannya.
Pukul 02.00
dinihari. Dalam dingin 2°C, sedikit
demi sedikit kaki melangkah mencumbu pasir menapak Puncak Mahameru. Terima
kasih Tuhan. Asap mengepul keluar dari kawah. Sujud sukur pada yang telah memberi kuasa.
Matahari turun perlahan. Mereka pun turun kembali setelah puas mengucap salam
cinta.
Itu adalah kisah 2
tahun yang lalu. Sekarang disini, dikota yang dingin dan sepi. Lintang membuka
kembali memorinya 2 tahun yang lalu tanpa sengaja. Ketika dia bertemu kembali
dengan Awan. Pertemuan yang tidak disengaja. Ketika mobil yang membawa Lintang
mogok dipertigaan Parung Kuda. Sekelompok anak muda habis mendaki Gunung Salak
menawarkan bantuan untuk memperbaiki. Awanlah yang lebih dahulu mengenali “gadis
kecil” yang semakin terhimpit beban hidup.
Siang itu, Lintang tengah asyik sendiri
di teras hotel tempat ia menginap. Sebenarnya ini bukan senang-senang. Tetapi
terapi bagi Lintang
yang sudah lama sakit. Sakit yang disembunyikan untuk menutupi kelemahan yang
dideritanya. Hawa dingin Sukabumi memang cocok untuk terapi.
“Lintang!”
Lintang terhenyak. Mata Lintang
terbelalak ketika tahu siapa yang datang. Awan melangkah dengan ringan
mendekati Lintang yang sedang duduk ditepi kolam. Angin dingin menggoda lagi.
Memang, kemarin Awan bertanya tempat Lintang
tinggal. “Awan?” bisik Lintang setengah tak percaya. Ya Tuhan, mengapa dia
begitu dekat denganku. Aku merasakan hal lain, bukan cinta bukan tapi lebih
dari itu rasa sayang yang tak terdefinisikan batin Lintang.
“Lintang!”panggil Awan lagi. “Apa kau
tak pernah merasa bagaimana kita begitu dekat? Gadis kecilku di waktu lalu.
Lama....lama sekali. Samar. Namun aku yakin, segalanya terungkap. Ternyata
benar kau gadis kecilku itu. Lintang, apa kau lupa padaku?” tanya Awan.
Tak perlu jawaban
kini. Karena semua sudah jelas. Lintang menangis. Tangis bahagia, kini dia
yakin kebahagiaan itu sudah datang. Ya, abang kecilnya telah kembali,
menghadiahkan harapan pasti. Kerinduan yang selama ini menggerogoti hatinya, terhapus....
(edisi 28.09.00, thanks for your inspiration my
Mapala friends)
No comments:
Post a Comment