Friday, July 26, 2013

cerpen (perempuan di ujung hujan)



Perempuan di ujung hujan

Setiap senja turun hujan, perempuan itu selalu berdiri terpaku di depan pintu. Matanya redup, sayu. Seolah enggan beranjak, takut yang dinantikan akan terlewat dari pelupuk matanya. Sudah bertahun-tahun perempuan itu seperti itu. Kadang dia mengabaikan teriakan anak kecil yang memanggilnya Ibu. Sementara laki-laki dibelakangnya terdiam bergeming. Seolah-olah mengerti betul apa yang tengah dilakukan istrinya. Meskipun ada perih yang selalu merangkul hatinya, tapi dia tahu perempuan dihadapannya jauh lebih sakit dari yang dirasakan.
Begitu setiap kali hujan itu datang. Dan setelah magrib menjelang perempuan itu akan masuk ke kamar, lalu menumpahkan tangisnya yang bergelung dengan kabut. Lalu laki-laki itu menyusul dan membiarkan tangisnya tumpah di dadanya. Membimbing perempuan itu datang ke sajadah yang sudah terbentang di hadapannya. Selalu seperti itu.
Satu peristiwa tersimpan rapi di laci hatinya. Meskipun kadang kebahagiaan juga menghampirinya, tapi tak dapat dipungkiri luka hati perempuan itu seperti tak pernah kering, ada sesuatu yang dia tunggu, sesuatu yang tak diketahui dengan pasti, bahkan oleh suaminya sendiri. Yang dengan setia membuat perempuan itu tak sungkan menangis menumpahkan gejolak hatinya.
Tempat itu terlihat lengang. Sudah tak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Karena semuanya memang sudah berubah. Ditinggal semua penghuninya. Disitulah perempuan itu menambatkan hatinya. Menyerahkan kebekuan hatinya yang lama terselubung es, perlahan namun pasti mencair atas jiwa yang tak pernah menyerah. Namun ditempat itu pula belenggu itu menjerat erat sampai hari ini. Meninggalkan bercak hitam dalam irisan hatinya.
“tidakkah hatimu kau serahkan pada-Nya. Menyedihkan setiap melihatmu seperti ini,” suaminya bertanya dengan sabar. Perempuan itu terdiam. Hatinya kelu. Sebenarnya perempuan itu pun sedih setiap melihat kesabaran suaminya yang tak pernah lelah membesarkan hatinya. Bahkan gemericik suara air kali tidak juga bisa meluruhkan hatinya. Entah dendam membara atau pun penyesalan tiada jelas apa yang dirasakannya. Hatinya meminta sesuatu. Sesuatu yang tak bisa dimengerti orang lain.
Senja itu kembali hujan turun. Perempuan itu tidak di depan pintu. Suaminya merasa lega, tapi seketika kelegaan itu berubah menjadi keprihatinan. Perempuan itu terduduk lemas di bawah hujan turun yang tak bersahabat. Air matanya bercampur hujan. Dia bersimpuh, kadang merintih perlahan, kadang sesenggukan, tanpa daya. Orang-orang yang lewat sampai terhenti memandang perempuan itu dengan tatapan aneh. Semakin banyak orang-orang yang berkerumun, perempuan itu berdiri seperti kesetanan dia mengusir orang-orang yang datang mengerumuninya, lalu berteriak-teriak tanpa bisa didengar dengan jelas, perempuan itu berlari masuk ke rumah dengan tubuh masih basah kuyup dia menjatuhkan dirinya di atas sajadah panjang yang selalu direntangkan suaminya. Tangisnya semakin menyesakkan dadanya sampai akhirnya perempuan itu terkulai lemas, lalu ambruk tak sadarkan diri. Berhari-hari kemudian perempuan itu mengurung diri.
Perempuan itu terjebak pada masa lalunya, sudah bertahun-tahun dia mengalami psikosomatis. Perasaan merasa sakit yang mengganggu kestabilan emosinya. Semua karena kepergian mendadak dari pria yang telah banyak mengubah hidupnya, yang telah meninggalkannya seperti perempuan jalang. Pelacur dalam konspirasi. Yang tanpa bersalah meninggalkan setumpuk derita dan sejuta penyesalan. Bukan. Dia bukan perempuan kuat, dia perempuan lemah yang tak pernah sanggup bercerita melepaskan bebannya pada orang lain, bahkan mengadu pada Tuhan pun dia tak sanggup. Karena perempuan itu merasa Tuhan pun tak pantas untuk mendengar keluhannya. Sunggguh. Sampai ada seorang laki-laki yang datang menegakkan kepalanya untuk kembali mendongak menatap dunia. Demi sebuah logika perempuan itu mengamini ajakan laki-laki itu. Laki-laki yang kini menjadi teman setianya dalam sebuah rajutan pernikahan. Laki-laki itu ikut merasakan setiap sudut kesedihan yang di retas perempuan itu, meski dalam diam. Laki-laki yang telah meninggalkan segumpal ego dan segenggam kecemburuan.
Tapi ujung sakit belumlah nampak. Jahitan gumpalan hatinya tidaklah sempurna. Tidak benar-benar rapat. Selalu ada yang masih menetes dalam ujud air yang menggenang di pelupuknya. Bukan dia tak menerima takdir. Perempuan itu ridlo dengan takdirnya tapi tidak dengan cara yang melelahkannya. Masing-masing terluka. Perempuan itu dan suaminya, bahkan anak yang tengah berjuang memahami  seorang ibu. Dan setiap hujan di senja turun laki-laki yang menjadi suaminya berdiri dengan harap cemas, berdoa semoga perempuan itu tidak menyadari bila hujan turun. Naïf.  
Maka setiap hujan turun laki-laki itu mengajak perempuan itu masuk kamar, menyediakan tempat untuk memberikan kesempatan pada istrinya agar melupakan sejenak hujan di senja, mengajaknya bertutur kata dan membiarkannya larut dalam kisah penggalan puisi dan cerpen yang tak kunjung usai di buatnya. Kadang perempuan itu pun larut meski kadang dia hanya berpura-pura sekedar menyenangkan hati laki-laki yang menjadi suaminya. Padahal di lubuk hatinya berkilatan rasa tak berdaya, rasa tersudut dalam kegalauan, rasa tak berharga, perasaan dilecehkan keperempuannya dan rasa di bohongi oleh masa lalunya. Sungguh sandiwara yang patut mendapat penghargaan. Bertahun-tahun perempuan itu bisa mengelabuhi perasaan hatinya pada suaminya. Menyimpan segudang rencana-rencana yang terburai dalam angannya. Penuh rahasia.
“aku tidak pernah menyesali apa yang telah aku putuskan, dengan menikahimu.”kata laki-laki itu. “tapi kau seharusnya bisa menyelesaikan urusan hatimu, selesaikan dengan caramu sendiri, karena yang bisa menyelesaikan adalah kalian, aku tidak punya kekuatan apapun untuk membuatmu bahagia, kecuali do’a-do’aku.”sambungnya. Perempuan itu terjengat. Kilatan dendam melesat bak auriga yang terbakar. Punah rasa yang terbelenggu melenggang pergi. Sakit dalam balutan senyum yang enggan bercerita. Pada waktunya (bisik hati perempuan itu).
Sudah berhari-hari sepertinya waktu berjalan seperti semestinya. Tak ada lagi mendung yang menggantung di wajah perempuan itu. Dia melakukan aktivitas seperti biasa. Seolah-olah jiwanya telah melepas beban yang terbelenggu bertahun-tahun lamanya. Hari ini perempuan itu membuat rencana dahsyat. Menurutnya. Dengan mengemudikan sendiri mobilnya perlahan-lahan ia meninggalkan rumah. Menuju tempat dimana dia telah membuat janji dengan seseorang. Tak lama perempuan itu tiba disebuah pantai. Deburan ombak memecah kesunyian hati. Perempuan itu berdiri terpaku. Menunggu dengan cemas. Angannya terbuai pada sejumput neraca yang tersusun dengan rapi dalam bilik kosong sudut hatinya. Sekali-kali dilihatnya jam ditangannya yang terus berdetak tanpa jemu. Waktu berlalu hampir sia-sia.
Dari kejauhan tampak seorang pria berjalan mendekati perempuan itu. Wajahnya sumir. Ragu pria itu mendekati perempuan itu. Ada kegamangan yang tampak jelas diraut wajahnya. Perempuan itu menoleh sambil tersenyum penuh misteri. “senang melihatmu bahagia,” ujar perempuan itu membuka percakapan. “itu yang selalu kuharapkan,”sambungnya. Pria itu masih terdiam. “apa sebenarnya yang ingin kau bicarakan?”Tanya pria itu lirih. Perempuan itu tersenyum sinis. “tak ada, aku hanya ingin mengambil sesuatu yang pernah kau renggut dariku. Seiris hati yang tak pernah kau kembalikan,”jawab perempuan itu. Pria itu terpaku mendengar ucapan itu. Perempuan itu melanjutkan lagi perkataannya, “aku tahu, kau tak senang mendengar ini tapi lebih tak senang lagi aku ketika tahu betapa kau sungguh merendahkan harga diriku, memporak-porandakan semangat hidupku dan membuat kebohongan yang tak bisa lagi kau tutupi.” Perempuan itu menghela nafas sebentar lalu sambungnya lagi,” bahkan semua kesalahan pun kau timpakan padaku.” Perempuan itu menangis tergugu. Air matanya mengalir, beban yang ditanggung bertahun-tahun  tumpah, meluap bercampur dengan gelung ombak yang tak berhenti. “bukan karena aku tak bersamamu yang membuatku tak bisa menerimanya, tapi alasanmu yang tak dapat kumengerti, andai kau jujur aku akan lebih bisa menghargaimu, bukan sebagai pengecut, inginnya aku meremukkan  hidupmu.”  Perempuan itu kemudian terdiam, lalu lanjutnya, “bahkan aku ingin membunuhmu dalam setiap kerat sayatan dagingmu.” Pria itu semakin tertunduk. “tapi aku tak bisa, untuk sekedar menyakitimu pun aku tak mampu.” Perempuan itu melanjutkan kembali ucapannya. “hari ini aku tidak akan mengambil hatimu, tapi aku akan meninggalkan hatiku, ku buang diderunya ombak, biar kubunuh semua perasaanku pada apapun, aku akan hidup dengan logika. Aku akan hidup dengan logika. Maka mulai hari ini tidak ada bahagia, sedih, derita. Semuanya sama tanpa rasa apa-apa. Ku kan berdamai  dengan semua derita dan bahagia yang pernah kau sematkan padaku.” Kemudian perempuan itu pergi, melaju di derunya mobil yang membawanya dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan hatinya yang tak lagi sempurna. Memulai hidup tanpa perasaan. Hampa. Pria itu terdiam seribu bahasa entah apa yang dirasakannya. Dan hujan pun turun disenja itu, membuat dingin hati perempuan itu.                                                       

Magelang, Juli’13




Monday, July 8, 2013

puisi (tak tersimpul)




Tak tersimpul

Dan setan-setan itu pun mengelilinginya,
Menari-nari mengitari perempuan tanpa hati,
Pelacur dalam sejarah kelam dunia,
Konspirasi dalam air mata perempuan,
Ah…selalu menjadi obyek bukan subyek,
Mana keadilan yang selalu diteriakkan,
Sungguh … tak bisa dipercaya,
Duniamu begitu tipis,
Setipis kulit ari yang sakit bila dicubit,
Itu pun kau merasakan,
Lalu kenapa kau jadikannya pelacur dalam semalam,
Karena salah perempuan?
Lagi-lagi menjadi obyek bukan subyek,
Setan-setan pun tertawa terbahak-bahak,
Lalu berteriak-teriak kegirangan,
Kemenangan setan dalam tropi penghargaan,
O…o..o rindu setan dalam siksa di depan mata,
Susahnya membedakan dengan setan,
Belenggu yang tak lagi tersimpul
 

Magelang, 8 juli 2013