Perempuan
di ujung hujan
Setiap
senja turun hujan, perempuan itu selalu berdiri terpaku di depan pintu. Matanya
redup, sayu. Seolah enggan beranjak, takut yang dinantikan akan terlewat dari
pelupuk matanya. Sudah bertahun-tahun perempuan itu seperti itu. Kadang dia
mengabaikan teriakan anak kecil yang memanggilnya Ibu. Sementara laki-laki
dibelakangnya terdiam bergeming. Seolah-olah mengerti betul apa yang tengah
dilakukan istrinya. Meskipun ada perih yang selalu merangkul hatinya, tapi dia
tahu perempuan dihadapannya jauh lebih sakit dari yang dirasakan.
Begitu
setiap kali hujan itu datang. Dan setelah magrib menjelang perempuan itu akan
masuk ke kamar, lalu menumpahkan tangisnya yang bergelung dengan kabut. Lalu
laki-laki itu menyusul dan membiarkan tangisnya tumpah di dadanya. Membimbing
perempuan itu datang ke sajadah yang sudah terbentang di hadapannya. Selalu
seperti itu.
Satu
peristiwa tersimpan rapi di laci hatinya. Meskipun kadang kebahagiaan juga
menghampirinya, tapi tak dapat dipungkiri luka hati perempuan itu seperti tak
pernah kering, ada sesuatu yang dia tunggu, sesuatu yang tak diketahui dengan
pasti, bahkan oleh suaminya sendiri. Yang dengan setia membuat perempuan itu
tak sungkan menangis menumpahkan gejolak hatinya.
Tempat
itu terlihat lengang. Sudah tak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Karena semuanya
memang sudah berubah. Ditinggal semua penghuninya. Disitulah perempuan itu
menambatkan hatinya. Menyerahkan kebekuan hatinya yang lama terselubung es,
perlahan namun pasti mencair atas jiwa yang tak pernah menyerah. Namun ditempat
itu pula belenggu itu menjerat erat sampai hari ini. Meninggalkan bercak hitam
dalam irisan hatinya.
“tidakkah
hatimu kau serahkan pada-Nya. Menyedihkan setiap melihatmu seperti ini,”
suaminya bertanya dengan sabar. Perempuan itu terdiam. Hatinya kelu. Sebenarnya
perempuan itu pun sedih setiap melihat kesabaran suaminya yang tak pernah lelah
membesarkan hatinya. Bahkan gemericik suara air kali tidak juga bisa meluruhkan
hatinya. Entah dendam membara atau pun penyesalan tiada jelas apa yang
dirasakannya. Hatinya meminta sesuatu. Sesuatu yang tak bisa dimengerti orang
lain.
Senja
itu kembali hujan turun. Perempuan itu tidak di depan pintu. Suaminya merasa
lega, tapi seketika kelegaan itu berubah menjadi keprihatinan. Perempuan itu
terduduk lemas di bawah hujan turun yang tak bersahabat. Air matanya bercampur
hujan. Dia bersimpuh, kadang merintih perlahan, kadang sesenggukan, tanpa daya.
Orang-orang yang lewat sampai terhenti memandang perempuan itu dengan tatapan
aneh. Semakin banyak orang-orang yang berkerumun, perempuan itu berdiri seperti
kesetanan dia mengusir orang-orang yang datang mengerumuninya, lalu
berteriak-teriak tanpa bisa didengar dengan jelas, perempuan itu berlari masuk
ke rumah dengan tubuh masih basah kuyup dia menjatuhkan dirinya di atas sajadah
panjang yang selalu direntangkan suaminya. Tangisnya semakin menyesakkan
dadanya sampai akhirnya perempuan itu terkulai lemas, lalu ambruk tak sadarkan
diri. Berhari-hari kemudian perempuan itu mengurung diri.
Perempuan
itu terjebak pada masa lalunya, sudah bertahun-tahun dia mengalami
psikosomatis. Perasaan merasa sakit yang mengganggu kestabilan emosinya. Semua
karena kepergian mendadak dari pria yang telah banyak mengubah hidupnya, yang
telah meninggalkannya seperti perempuan jalang. Pelacur dalam konspirasi. Yang
tanpa bersalah meninggalkan setumpuk derita dan sejuta penyesalan. Bukan. Dia
bukan perempuan kuat, dia perempuan lemah yang tak pernah sanggup bercerita
melepaskan bebannya pada orang lain, bahkan mengadu pada Tuhan pun dia tak
sanggup. Karena perempuan itu merasa Tuhan pun tak pantas untuk mendengar keluhannya.
Sunggguh. Sampai ada seorang laki-laki yang datang menegakkan kepalanya untuk
kembali mendongak menatap dunia. Demi sebuah logika perempuan itu mengamini
ajakan laki-laki itu. Laki-laki yang kini menjadi teman setianya dalam sebuah
rajutan pernikahan. Laki-laki itu ikut merasakan setiap sudut kesedihan yang di
retas perempuan itu, meski dalam diam. Laki-laki yang telah meninggalkan
segumpal ego dan segenggam kecemburuan.
Tapi
ujung sakit belumlah nampak. Jahitan gumpalan hatinya tidaklah sempurna. Tidak
benar-benar rapat. Selalu ada yang masih menetes dalam ujud air yang menggenang
di pelupuknya. Bukan dia tak menerima takdir. Perempuan itu ridlo dengan
takdirnya tapi tidak dengan cara yang melelahkannya. Masing-masing
terluka. Perempuan itu dan suaminya, bahkan anak yang tengah berjuang memahami seorang ibu. Dan setiap hujan di senja turun
laki-laki yang menjadi suaminya berdiri dengan harap cemas, berdoa semoga
perempuan itu tidak menyadari bila hujan turun. Naïf.
Maka
setiap hujan turun laki-laki itu mengajak perempuan itu masuk kamar,
menyediakan tempat untuk memberikan kesempatan pada istrinya agar melupakan
sejenak hujan di senja, mengajaknya bertutur kata dan membiarkannya larut dalam
kisah penggalan puisi dan cerpen yang tak kunjung usai di buatnya. Kadang
perempuan itu pun larut meski kadang dia hanya berpura-pura sekedar
menyenangkan hati laki-laki yang menjadi suaminya. Padahal di lubuk hatinya
berkilatan rasa tak berdaya, rasa tersudut dalam kegalauan, rasa tak berharga,
perasaan dilecehkan keperempuannya dan rasa di bohongi oleh masa lalunya. Sungguh
sandiwara yang patut mendapat penghargaan. Bertahun-tahun perempuan itu bisa
mengelabuhi perasaan hatinya pada suaminya. Menyimpan segudang rencana-rencana
yang terburai dalam angannya. Penuh rahasia.
“aku
tidak pernah menyesali apa yang telah aku putuskan, dengan menikahimu.”kata
laki-laki itu. “tapi kau seharusnya bisa menyelesaikan urusan hatimu,
selesaikan dengan caramu sendiri, karena yang bisa menyelesaikan adalah kalian,
aku tidak punya kekuatan apapun untuk membuatmu bahagia, kecuali
do’a-do’aku.”sambungnya. Perempuan itu terjengat. Kilatan dendam melesat bak
auriga yang terbakar. Punah rasa yang terbelenggu melenggang pergi. Sakit dalam
balutan senyum yang enggan bercerita. Pada waktunya (bisik hati perempuan itu).
Sudah
berhari-hari sepertinya waktu berjalan seperti semestinya. Tak ada lagi mendung
yang menggantung di wajah perempuan itu. Dia melakukan aktivitas seperti biasa.
Seolah-olah jiwanya telah melepas beban yang terbelenggu bertahun-tahun
lamanya. Hari ini perempuan itu membuat rencana dahsyat. Menurutnya. Dengan
mengemudikan sendiri mobilnya perlahan-lahan ia meninggalkan rumah. Menuju
tempat dimana dia telah membuat janji dengan seseorang. Tak lama perempuan itu
tiba disebuah pantai. Deburan ombak memecah kesunyian hati. Perempuan itu
berdiri terpaku. Menunggu dengan cemas. Angannya terbuai pada sejumput neraca
yang tersusun dengan rapi dalam bilik kosong sudut hatinya. Sekali-kali
dilihatnya jam ditangannya yang terus berdetak tanpa jemu. Waktu berlalu hampir
sia-sia.
Dari
kejauhan tampak seorang pria berjalan mendekati perempuan itu. Wajahnya sumir.
Ragu pria itu mendekati perempuan itu. Ada kegamangan yang tampak jelas diraut
wajahnya. Perempuan itu menoleh sambil tersenyum penuh misteri. “senang
melihatmu bahagia,” ujar perempuan itu membuka percakapan. “itu yang selalu
kuharapkan,”sambungnya. Pria itu masih terdiam. “apa sebenarnya yang ingin kau
bicarakan?”Tanya pria itu lirih. Perempuan itu tersenyum sinis. “tak ada, aku
hanya ingin mengambil sesuatu yang pernah kau renggut dariku. Seiris hati yang
tak pernah kau kembalikan,”jawab perempuan itu. Pria itu terpaku mendengar
ucapan itu. Perempuan itu melanjutkan lagi perkataannya, “aku tahu, kau tak
senang mendengar ini tapi lebih tak senang lagi aku ketika tahu betapa kau
sungguh merendahkan harga diriku, memporak-porandakan semangat hidupku dan
membuat kebohongan yang tak bisa lagi kau tutupi.” Perempuan itu menghela nafas
sebentar lalu sambungnya lagi,” bahkan semua kesalahan pun kau timpakan
padaku.” Perempuan itu menangis tergugu. Air matanya mengalir, beban yang
ditanggung bertahun-tahun tumpah, meluap
bercampur dengan gelung ombak yang tak berhenti. “bukan karena aku tak
bersamamu yang membuatku tak bisa menerimanya, tapi alasanmu yang tak dapat
kumengerti, andai kau jujur aku akan lebih bisa menghargaimu, bukan sebagai
pengecut, inginnya aku meremukkan
hidupmu.” Perempuan itu kemudian
terdiam, lalu lanjutnya, “bahkan aku ingin membunuhmu dalam setiap kerat
sayatan dagingmu.” Pria itu semakin tertunduk. “tapi aku tak bisa, untuk
sekedar menyakitimu pun aku tak mampu.” Perempuan itu melanjutkan kembali
ucapannya. “hari ini aku tidak akan mengambil hatimu, tapi aku akan
meninggalkan hatiku, ku buang diderunya ombak, biar kubunuh semua perasaanku
pada apapun, aku akan hidup dengan logika.
Aku akan hidup dengan logika. Maka mulai hari ini tidak ada bahagia, sedih,
derita. Semuanya sama tanpa rasa apa-apa.
Ku kan berdamai dengan semua derita dan bahagia yang pernah
kau sematkan padaku.” Kemudian perempuan itu pergi, melaju di derunya mobil
yang membawanya dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan hatinya yang tak lagi
sempurna. Memulai hidup tanpa perasaan. Hampa. Pria itu terdiam seribu bahasa
entah apa yang dirasakannya. Dan hujan pun turun disenja itu, membuat dingin
hati perempuan itu.
Magelang,
Juli’13