bekerja/tidak? Pilihan
bekerja/tidak? Tuntutan
Tergelitik hati saya ketika membaca beberapa
postingan yang sepertinya sedikit memperdebatkan peran antara ibu bekerja dan
yang tidak bekerja dalam mendidik anak.. Hm...saya hanya ingin sedikit
mencurahkan pendapat saya. Sedikit aja soalnya kalau banyak malah dikira
novel...he..he.
Bagi sebagian perempuan (penekanannya adalah saya)
bekerja di luar rumah dengan meninggalkan anak-anak di rumah adalah sebuah
pilihan. Maka sederet atribut pun melekat bersamanya. Ada yang memandangnya
sebagai perempuan hebat, tidak sedikit yang menganggap tega terhadap anak, anak
tidak diperhatikan. Dan anggapan semua itu sah-sah saja. Tergantung dari sudut
mana cara memandangnya. Tapi kita tidak fair kalau menghakimi seseorang tanpa
tahu apa alasan dibalik keputusannya memilih untuk bekerja.
Idealnya bekerja itu yang dekat rumah, waktu kerja
seminim mungkin, penghasilan bisa untuk menutupi pengeluaran bahkan bisa
saving (bagi saya lho..). Ada waktu lebih untuk memberikan pendidikan pada anak (bukan pendidikan
di sekolah). Syukur-syukur yang bisa bekerja di rumah sambil ngawasin anak. Sempurna
(itu keinginan saya he..he soale kerjanya cukup jauh). Begitu bagi sebagian
orang berfikir. Apa benar seperti itu?
Lalu benarkah ibu yang bekerja kurang bisa memberi
perhatian pada anak? BELUM TENTU. Apakah ibu yang hanya mengurus rumah tangga
selalu lebih perhatian pada anak? BELUM TENTU. Tapi kalau ibu rumah tangga
memang mempunyai peluang lebih besar memberi perhatian pada anak. Ingat
peluang. Tinggal bisa memanfaatkan peluang atau tidak. Menurut hemat saya
bekerja ataupun tidak, tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk keberhasilan dalam
mendidik anak.
Sebagai contoh ada sebuah keluarga yang kedua orang
tuanya bekerja, mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk anak-anaknya. Akan
tetapi mereka bisa memberikan sedikit waktunya tersebut dengan sangat baik
sehingga si anak merasa kebutuhan akan kasih sayang dari orang tuanya
terpenuhi. Dan mereka bisa menjadi anak-anak yang membanggakan orang tuanya
(bukankah menjadi anak baik yang berani mempertanggungjawabkan apa yang
diperbuat juga anak yang patut dibanggakan?). Tapi ada juga anak yang diasuh
orang tuanya dengan waktu yang berlimpah dan pengawasan yang full tapi tidak
bisa membuat orang tua bangga. Namun begitu banyak juga orang tua yang memilih
lebih untuk mengasuh anaknya dirumah menjadikan anaknya mutiara yang berkilau.
Begitu juga ada anak yang kedua orang tuanya bekerja tapi tidak betah dirumah.
Jadi selayaknya kita memberikan penilaian denga proposional melihat dari sudut
pandang masing-masing pribadi.
Lalu apakah mereka bukan ibu-ibu yang hebat? Belum
tentu. Setiap ibu menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Bekerja atau
tidak semua dilakukan untuk yang terbaik bagi anak-anaknya. Sama halnya dengan
pemberian asi. Ada ibu yang mampu memberikan asinya sampai 2 tahun ada yang
bisa menjalankan program asi eksklusif, ada yang tidak. Ada yang hanya bisa
menyusui sampai umur 2 bulan. Tidak sedikit pula yang memberikan sufor dari
yang biasa sampai yang harganya mahal. Lalu apakah mereka yang memberikan asi
eksklusif selalu lebih baik? BELUM TENTU (Alhamdulillah saya diberi kesempatan
untuk dapat memberikan ASI eksklusif meskipun saya bekerja dan saya belum tentu saya
lebih baik, tapi bagi kesehatan tentu ASI tidak tertandingi sufor apapun). Apa mereka yang memberikan
susu pengganti ibu yang kurang baik? BELUM TENTU juga. Intinya mereka tetaplah ibu-ibu
yang ingin memberikan yang terbaik bagi putra-putrinya. Setuju...? (kalau saya
setuju banget)
Jadi saya pikir tidak ada gunanya memperdebatkan ibu
bekerja vs tidak bekerja. Lha wong cara memandangnya dari sudut yang berbeda
tentu gak bakalan ketemu lah. Coba kalau masing-masing saling berempati tentu
bisa saling membantu kekurangan masing-masing. Saya lebih suka berintropeksi
diri daripada menghujat. Soalnya saya masih kacau balau dalam mendidik anak
he..he. Masih belajar dan terus belajar. Ibu yang biasa bekerja kalau disuruh
mengerjakan pekerjaan rumah terus menerus (beralih peran jadi ibu rumah tangga)
juga mungkin merasa berat. Begitu juga ibu yang terbiasa mengurus rumah tangga
kalau tiba-tiba harus bekerja dikantoran mungkin juga terasa berat. Iya gak
siiih?
Hmmmm… kita selalu memandang ibu bekerja adalah ibu
yang yang bekerja dikantoran. Trus bagaimana dong ibu setengah rumah tangga
setengah bekerja (padahal aslinya kerjanya gak ada jam istrirahatnya). Yuuuk
sedikit melongok ke mereka yang tinggal di pedesaan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga
merangkap petani. Nah lho...mereka juga bekerja. Kebayang gak? Pagi sekali
mereka udah bangun masak, nyiapin sarapan, bersih-bersih rumah siap-siap ke
ladang (mereka jarang nganter anak ke sekolah, biasanya anak-anaknya berangkat
ke sekolah sendiri jalan kaki). Bekerjalah di ladang. Sebelum anak-anak pulang
sekolah mereka pulang menyiapkan makan siang. Tanpa tidur siang mereka akan ke
ladang lagi sampai waktu ashar tiba. Pulang nyiapin untuk makan malam dan
seabreg kegiatan lainnya. Anak? Ya sambil momong anak ha..ha..kalo ada yg punya
anak kecil ya dibawa ke ladanglah...mereka pergi tidur saat semua sudah tidur.
Nah...apalagi sekarang yang mau kita perdebatkan. Begitu juga mereka yang
berdagang di pasar. So untuk apa kita capek-capek meributkan ibu bekerja/tidak.
Buang energi saja (ini menurut saya lho anda boleh berbeda kok). Sekali lagi
setiap ibu ingin yang terbaik untuk anaknya dengan cara menjadi ibu pekerja
atau ibu rumah tangga.
Menurut saya Tuhan sudah mengatur rencana indah untuk
masing-masing ibu baik yang bekerja maupun tidak. Tentunya kita berbaik sangka
saja rencana indah selalu datang dari Allah. Tetaplah bersyukur karena kita
diberi kesempatan mendidik anak-anak kita, sementara diluaran sana banyak ibu
yang menginginkan melahirkan buah hatinya. Dan bukan saatnya lagi memperdebatkan bekerja atau tidak. yang penting enjoy menjalaninya he..he