Tuesday, March 8, 2016

obrolan mom and son

Sebenarnya saya kurang tertarik untuk ikut membahas tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender). Namun sebuah pertanyaan menggelitik nurani. karena pernyataan sekaligus pertanyaan dari anak kelas 5 yang notabene adalah anak saya sendiri (usia 11 tahun). Pertanyaan yang membuat saya sejenak tercenung. Betapa informasi tentang LGBT begitu terekspose sekali sehingga dengan mudahnya sampai ke telinga anak-anak. Pertanyaan yang terkesan sepele "bunda, di Amerika dan Australia laki-laki boleh menikah dengan laki-laki ya?"
Tapi ini membutuhkan jawaban panjang lebar bukan sekedar YA atau TIDAK.
Baiklah saya disini tidak akan membahas LGBT, karena sudah banyak sekali yang membahasnya. Kembali ke pertanyaan diatas. Saya tidak langsung menjawabnya, tetapi balik bertanya. "Menurut Mas bagaimana? Bolehkah?" Spontan dia menjawab"Tidak boleh bunda...! Laki-laki menikah dengan perempuan."
Setidaknya saya lega dengan cara pandangnya, jawaban inilah yang akan menghantarkan saya pada penjelasan dan pemahaman apa itu hidup. Akhirnya sore itu kami diskusikan tentang apa itu LGBT, penyakit sosial, kelainan jiwa, gangguan psikologis. Tentu dengan bahasa yang dapat diterima oleh anak seusia dia. Dan akhirnya saya mengetahui betapa pengetahuan anak seusia dia (anakku) sudah begitu luasnya. Karena di tahu saya lulusan Psikologi dia mengajukan pertanyaan yang banyak tentang kepribadian ganda, psichozophrenia, apa itu gangguan jiwa, ganggua psikologis dan bahkan saya yang tak kalah kagetnya ketika dia mengajukan pertanyaan dengan istilah ilmu psikologi, "apa itu obsesive compulsive disorder?
Saya terheran-heran sebagai orang tua kemana saja saya selama ini, sampai tidak tahu perkembangan anak yang begitu dahsyat. Ya, karena suatu sebab memaksa kami terpisah untuk sementara memang membuat anak-anak menjadi lebih mandiri dan matang dengan anak seusianya. Meskipun secara berpikir dia masih tampak kekanak-kanakan akan tetapi dari segi pengetahuan seperti sebuah buku novel.
Satu hal yang membuat saya senang adalah ketika anak mau mendiskusikan hal-hal yang dia tidak pahami ke orang tua. Dia mau terbuka tentang pengetahuan yang memang ia ingin ketahui dan mencari jawaban ke orang yang tepat. Saya membayangkan bagaimana seandainya dia menanyakan ke saya atau ke siapapun yang tepat, tapi mencari tahu jawaban ke orang yang tidak tepat atau bahkan mencari jawaban sendiri tanpa mendapatkan bimbingan.
So, sebagai orang tua kita memang harus cerdas. memposisikan sebagai orang tua, teman, tempat curhat, tempat cerita, tempat anak mengadu dan tempat anak menimba ilmu. Sekaligus tempat memupuk religiusitas. Karena anak-anak semakin kritis. saat pertanyaan diajukan maka kita harus siap dengan jawaban yang sesuai dengan tingkat pemahaman anak.
And then, anak-anak kita dibentuk bukanlah karena apa mau kita, tapi apa yang emang pas buat anak. anak merasa nyaman dan tidak keluar jalur. pendidikan agama menjadi satu cara terbaik untuk membentuk anak-anak menjadi pribadi yang baik. Kita para orang tua menjadi garda terdepan, jangan terlalu cepat menyimpulkan lingkungan menjadi penyebab setiap kesalahan dari anak.
Pesan yang ingin saya sampaikan dari cerita diatas adalah, kenalilah anak kita dan ajaklah berkomunikasi yang aktif. Komunikasi dua arah yang akan menjadikan kita dekat dengan anak-anak kita. Sedikit waktu bila kita memberikan dengan kualitas yang bagus akan membuat anak dekat dengan kita.
Pada akhirnya, bahagialah dengan anak-anak kita titipan yang kuasa. Karena tidak semua orang mendapatkan anugrah seperti kita. Salam..