Mimpi
Keringat
Lania seperti mengucur deras keluar dari kulitnya yang semakin kusut. Badannya
terasa lemah lunglai, sekujur tubuhnya bagai tak bertenaga. Tak pernah
terbayangkan bahwa dia akan bertemu dengan masa lalunya dalam suasana yang
seharusnya ceria untuk dia dan anaknya. Semangatnya menyambut kedatangan orang
tua Dewa calon mantunya buyar sudah. Hari ini Dewa memenuhi janjinya untuk
datang bersama orang tuanya melamar anaknya. Segenap persiapan sudah Lania
lakukan. Semata-mata untuk kebahagiaan Wita anak semata wayangnya. Lania ingin
menunjukkan kalau Wita putri yang pantas mendapatkan tempat di hati orang tua
manapun. Lania ingin memastikan jika Wita bersama orang yang tepat dari
keluarga yang tepat pula. Tapi pria yang datang untuk melamar Wita untuk
anaknya tidak lain dan bukan adalah laki-laki yang telah melesakkan luka di
hatinya begitu dalam. Sekuat tenaga Lania menegakkan perasaannya untuk tetap
tegar di depan laki-laki itu. Sama-sama terperanjat wajah Edo orang tua Dewa
begitu melihat siapa wanita yang akan menjadi besannya.
“Tante,
kenalkan ini papaku.” Dewa memperkenalkan papa dan mamanya. Dengan sekuat
tenaga Lania menjulurkan tangannya menyambut kedua orang tua Dewa. Memaksakan
untuk membuat segaris senyum dibibirnya. Dan mempersilakan mereka duduk.
Ditegarkan hatinya. Sementara Wita di dalam tampak tersenyum bahagia tidak tahu
bagaimana perasaan mamanya berjuang menegakkan hatinya agar tidak runtuh demi
si buah hati. Ah… andai ayahnya Wita masih ada pasti Lania lebih siap menghadapi
semua keterkejutan ini.
Wita anak
semata wayangnya yang telah membuat Lania tegar. Meski disepanjang
pernikahannya tak pernah mencintai laki-laki yang menjadi ayah Wita lebih dari
cintanya pada Edo, namun Lania berjuang untuk tetap menjaga hati. Pernikahan
adalah ibadahnya. Dan ayah Wita orang yang telah membangkitkan hidupnya dikala
dia terjatuh dalam ketidakberdayaan. Orang yang menerima Lania apa adanya.
Diantara masa lalu, penyakit yang dideritanyan dan perasaannya.
Kini
setelah puluhan tahun masih memendam sakit Lania harus kembali betermu dengan
Edo sebagai besan. Dan rencana pernikahan tidak bisa dibatalkan. Lania sungguh
bisa merasakan akibatnya jika demi keegoisannya menghancurkan hidup Wita.
Apalagi melihat Wita dan Dewa seperti melihatnya dimasa lampau. Dan seonggok
luka itu kini terburai. Kedukaan menghantarkan Lania pada mimpinya yang kandas.
Tadi malam.
Lania mendapat pesan singkat dari Edo. Pesan untuk bertemu sebelum pernikahan
Wita dan Dewa berlangsung. Pesan yang dulu pernah ia nantikan saat Edo
memutuskan untuk meninggalkan Lania. Saat Lania masih dengan penuh harap
menantikan kedatangan Edo. Tapi pesan itu kini…bagaikan sebuah tamparan yang
telah mengoyak harga dirinya. Ada perasaan marah, benci, rindu bercampur dengan
ketidakberdayaan seorang perempuan yang jauh didasar hatinya yang paling dalam
masih mencintai Edo. Sebenarnya bukan karena ditinggalkannya yang membuat Lania
sakit tapi karena ia masih memendam cinta. Perasaan yang terus menyiksa
batinnya. Dan sampai detik ini juga Lania belum bisa memutuskan apa yang akan
dilakukannya terhadap permintaan Edo.
“Mama..!”
panggilan Lania membuyarkan lamunannya. “Tahu nggak Ma, semenjak Papa Mama Dewa
dari sini, mereka sangaaat baik sama Wita. Padahal sebelumnya mereka biasa
saja. Sepertinya mereka sungkan dengan Mama. Apalagi setelah tahu Mama seorang
single parent yang berjuang mendidik Wita seorang diri.” Lania dengan semangat
menceritakan orang tua Dewa. Lania tersenyum. “Wita, jangan terbuai, yah
namanya dengan calon menantu mereka pasti akan baik, mereka akan menjadi orang
tua Wita, seperti Mama menyayangi Wita.” Nasehat Lania dengan bijak. “Mama sih
tidak tahu, sebelumnya mereka tuh memandang sebelah mata sama Wita, apalagi
Papanya huuh…kayak orang paling sukses sendiri, jaim, kalau bicara gayanya
terlalu tinggi.” Cerita Wita berapi-api.
“Tidak baik membicarakan keburukan calon mertua dibelakangnya, itu kan karena
mereka belum tahu kalau Wita anak termaniiis di dunia ini.” Canda Lania. “dan
sebelnya lagi Mama, papanya tuh suka nanyain mama, seperti orang yang mencari
tahu siapa to mamaku yang sebenarnya, huuh…”gerutu Wita. Lania tertegun. Ada
kilatan perasaan tak termaknakan mendengar cerita Wita. Ya.. sampai sekarang
pun Edo belum berubah, masih sama menjadi pribadi yang egois. Apa pun yang
dilakukan hanya demi kepentingannya sendiri.
“Mama…!”
panggil Wita manja. “Wita tahu, mama menyimpan sesuatu dalam hidup. Wita tahu
ada sesuatu yang disembunyikan, tapi Wita tidak tahu apa? Tapi Wita tahu mama
selalu memberikan hal yang baik untuk Wita. Apakah mama bahagia?” pertanyaan
Wita pada akhirnya merobek hati Lania.”Mama akan selalu bahagia bila melihat
Wita bahagia. Kadang menjadi orang tua tidak harus menceritakan semua
masalahnya. Selama bisa menyelesaikan masalahnya tersebut. Mama suka seperti
ini. Jika pun ada sesuatu yang Mama rahasiakan tentu tidak ada hubungannya
dengan Wita. Percayalah…Mama selalu sayang Wita.”
Tidak.
Lania tidak ingin menemui Edo. Biarlah kebenaran menjadi rahasia. Ketetapan
hatinya untuk membungkus luka semata-mata untuk kebahagiaan Wita dan Dewa.
Setidaknya mereka bahagia. Lania pun enggan membuka kisah itu kembali. Kali ini
hanya bagaimana Lania tegar menghadapi hari pernikahan Lania seorang diri.
Pucuk deritanya telah terpangkas harapan kebahagiaan Wita. Amanah satu-satunya
dari ayah Wita yang selalu membangun kepercayaan diri Lania. Satu persatu
hidupnya berubah. Hormatnya pada ayah Wita membuat Lania berjanji untuk hidup
dengan ikhlas. Meski tak pernah terbayang sebelumnya bahwa Lania akan bertemu
dengan Edo dalam sebuah jalinan keluarga. Meski satu persatu kenangan itu hadir
namun naluri Lania untuk membuat Wita bahagia jauh lebih kuat. Apapun akan
dilakukannya demi bahagianya putrinya. Demi cinta dua manusia tak terpisahkan.
Sementara luka biarlah menjadi serpihan masa lalu.
Dan hari
yang dinantikan tiba. Pernikahan Wita dan Dewa. Lania benar-benar menjadi
perempuan sempurna. Senyumnya tak pernah lepas. Meskipun dia menyambut
kedatangan Edo dan istrinya. Tidak. Bukan lagi sakit tapi bahagia demi melihat
senyum putrinya yang selalu mengembang. Tak diragukan lagi bahagia kedua
pasangan pengantin itu. Sementara Edo seperti berusaha untuk menegakkan
kepalanya. Selalu. Menjadi pihak terdakwa yang tak pernah mampu menjelaskan
dengan kata-kata. Saat semuanya berlangsung,
hati Lania seperti diiris-iris ketika dia dulu membayangkan duduk dipelaminan
bersama Edo. Tapi semua menjadi hancur, tubuh Lania limbung untuk kemudian
terjatuh. Tak sadarkan diri.
“Mama...mama...bangun!” panggil Wita. Digoyang-goyangkan
tubuh Lania. Lania terbangun. Mimpi. Semua hanya mimpi. Lania tersenyum lega.
Ketika semua hanyalah mimpi. Ada Wita di dekatnya, ada Edo yang baru saja
pulang dari kerja. Sempurna. Mimpi itu hanya ketakutan Lania.
(magelang-malang, 15/16)